RUU MLA Disetujui, Pemerintah Langsung Lacak Aset Hasil Pidana di Swiss

JAKARTA
- DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengesahan Perjanjian
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal
Assistance (MLA), antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi UU.
RUU itu disahkan menjadi Undang-Undang lewat sidang paripurna di Gedung DPR,
Jakarta, hari ini.
Usai
RUU MLA itu disahkan, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonganan
Laoly mengatakan bahwa pemerintah akan langsung memulai prosedur pengumpulan
data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan oleh para pelaku di
Swiss.
"Langkah
selanjutnya tentu kami akan membentuk tim dan duduk bersama-sama dengan
Bareskrim, Kejaksaan, KPK, serta Kementerian Luar Negeri untuk melakukan asset
tracing (pelacakan aset)," kata Yasonna saat ditemui wartawan usai sidang
paripurna, Selasa (14/7/2020).
"Kita
juga nantinya akan bekerja sama dengan pihak Swiss untuk membuka dan meminta
data-data yang ada. Dengan dasar hukum ini, kita sudah melakukan hal
tersebut," ujarnya.
Yasonna
juga menegaskan bahwa aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss sebelum
UU ini berlaku, tetap bisa dilacak dan kemudian disita oleh negara. Sehingga,
pemerintah bisa leluasa untuk melakukan penyitaan terhadap aset hasil tindak
pidana yang ada di Swiss.
"Bagusnya,
UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang,
atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak,"
tutur Yasonna.
Yasonna
menyatakan juga akan menjalin perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual
Legal Assistance/MLA) serupa dengan negara-negara lain sebagai upaya
pemberantasan tindak pidana transnasional. Salah satu negara yang akan dijalin
kerjasamanya yakni, Serbia.
"UU
kali ini kan khusus antara Swiss dengan Indonesia. Sebelumnya, kita juga sudah
mengikat perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Rusia, Iran, dan sejumlah
negara lain," ucap Yasonna.
"Kita
akan teruskan hal ini. Misalnya dengan Serbia, walaupun belum ada perjanjian
ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draft dan akan kita bahas
tahun depan setelah pandemi Covid-19 ini berakhir," ujarnya.
Adapun
UU yang mengatur tentang MLA dengan Swiss ini merupakan buah dari upaya panjang
yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pembicaraan awal dirintis pada 2007 saat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu Presiden Konfederasi Swiss
Micheline Calmy-Rey di Istana Negara, Jakarta.
Ketika
itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide pemerintah Indonesia dan Swiss yang bekerja
sama mengembalikan aset koruptor di negara tersebut.
Pembicaraan
kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard
berkunjung ke Indonesia, namun lantas redup akibat berbagai hambatan, termasuk
teknis pengembalian aset dan ketatnya aturan perbankan di Swiss.
Diskusi
kembali hidup di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan perundingan
pertama pun digelar pada 28-30 April 2015 di Bali.
Delegasi
Indonesia kala itu diketuai Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat
yang kini menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo
Rahadian Muzhar. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 30-31 Agustus 2017,
digelar perundingan kedua di Bern, Swiss.
Barulah,
pada 4 Februari 2019 Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin
Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA Indonesia-Swiss dalam pertemuan di
Bernerhof, Bern, Swiss.
Saat
membacakan pendapat akhir Presiden atas RUU tentang Pengesahan Perjanjian
Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Indonesia dan
Swiss pada Sidang Paripurna DPR, Yasonna menyebut pengesahan RUU itu menjadi UU
akan meningkatkan efektivitas kerja sama pemberantasan tindak pidana yang
bersifat transnasional meliputi tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan
tindak pidana fiskal.
"Perjanjian
ini juga memuat fitur-fitur penting yang sesuai dengan tren kebutuhan penegakan
hukum sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan dan permasalahan tindak pidana
yang dihadapi kedua negara," katanya.
"Penyelesaian
kasus tindak pidana transnasional ini tidak mudah. Hal ini berbeda dengan
penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara. Pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerja sama bilaterlal dan
multilateral, khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan," pungkasnya.
Sumber
: okezone.com
0 Response to "RUU MLA Disetujui, Pemerintah Langsung Lacak Aset Hasil Pidana di Swiss"
Post a Comment