Jalan Sunyi Jokowi Rebut Kembali Uang Negara dari Supersemar
Jakarta
- Negara memberikan kuasa kepada Presiden RI untuk merebut kembali uang yang
diselewengkan Yayasan Supersemar. Setelah 11 tahun bertarung di pengadilan, perlahan
uang negara yang diselewengkan ke perusahaan keluarga Cendana itu kembali.
Kasus
bermula saat Presiden Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar pada 16 Mei 1974.
Tujuannya untuk membantu pendidikan Indonesia.
Dua
tahun berselang, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No
15/1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara
disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar mendapatkan
uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Dalam
perjalanannya, dana yang terkumpul bukannya untuk beasiswa, pembangunan gedung
sekolah, kampus dkk, tapi malah diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana dkk.
Di antaranya yaitu:
1. PT Bank Duta USD 125 juta.
2. PT Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19
juta.
3. PT Bank Duta kembali mendapat kucuran dana
USD 275 juta.
4. Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989
hingga 1997.
5. Diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp
150 miliar pada 13 November 1995.
6. Diberikan kepada PT Kalhold Utama, Essam
Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada
1982 hingga 1993.
7. Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro
sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.
Sepanjang
Soeharto menjabat, laporan keuangan Yayasan Supersemar tak tersentuh. Pasca
lengser pada 1998, uang yang terkumpul itu mulai dibidik sebagai bagian amanat
reformasi.
Hingga
pada 2007, Negara menggugat Yayasan Supersemar untuk mengembalikan dana yang
diselewengkan. Gayung bersambut. Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan
Supersemar membayar ganti rugi kepada RI.
Vonis
itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Setahun
setelahnya, hakim agung Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto
menguatkan vonis itu. Sayang, ada salah ketik di amar sehingga tak bisa
dieksekusi. Seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904.
Jaksa
Agung mengajukan PK atas kesalahan ketik itu. Pada Agustus 2015, MA memperbaiki
salah ketik itu, menjadi:
"Menghukum
Tergugat II (Yayasan Supersemar) untuk membayar kepada Penggugat (Republik
Indonesia) sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $ 315.002.183,00 dan
75 persen x Rp 185.918.048.904,75 = Rp139.438.536.678,56," putus ketua
majelis Suwardi dengan anggota Mahdi Soroinda Nasution dan Sultoni Mohdally.
Namun
cerita belum berakir. Yayasan Supersemar mengajukan perlawanan eksekusi pada
2016.
Pada
29 Juni 2016, PN Jaksel mengabulkan perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. PN
Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar sudah menyalurkan dana pendidikan ke yang
berhak.
Tapi
pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar itu.
Menurut MA, perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar nebis in idem.
"Sehingga
putusan perkara a quo nebis ini idem," ujar majelis dengan suara bulat.
Mengantongi
putusan itu, Jaksa Agung mengajukan permohonan eksekusi. Perlahan, uang negara
yang diselewengkan yayasan bisa diambil kembali.
"Jaksa
Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, telah berhasil
melaksanakan pemulihan keuangan Negara dari beberapa rekening
deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di
bank dengan total keseluruhan sebesar Rp 241.870.290.793,62 yang saat ini
berada di rekening Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan rekening RPL 175
PN," kata Kapuspenkum Kejagung, M Rum pada Maret 2018.
Langkah
sunyi Jokowi tak sampai di situ. Diam-diam, lewat Jaksa Agung, ia terus menuntaskan
kasus itu. Salah satunya meminta eksekusi tanah dan Gedung Granadi.
"Sudah
lama (disita)," kata pejabat Humas PN Jaksel Achmad Guntur saat dihubungi
Senin (19/11) lalu.
Selain
gedung Granadi, yang terletak di Jl HR Rasuna Said, sejumlah aset lainnya
disita terkait kasus Yayasan Supersemar, di antaranya tanah di Megamendung,
Kampung Citalingkup, Bogor, seluas 8.120 meter persegi.
"Ada
tanah di Megamendung dan rekening sama uangnya," sambung Guntur.
Lalu
apa kata keluarga Cendana soal penyitaan aset Yayasan Supersemar? Siti Hediati
Hariyadi atau Titiek Soeharto menduga penyitaan gedung Granadi di Kuningan,
Jaksel, berkaitan dengan dirinya yang vokal terhadap pemerintah.
"Granadi
itu ya, setiap kali saya bicara vokal ke pemerintah, selalu ada yang angkat
mengenai penyitaan Granadi. Padahal ini cerita yang sudah beberapa bulan yang
lalu," ujar Titiek di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
0 Response to "Jalan Sunyi Jokowi Rebut Kembali Uang Negara dari Supersemar"
Post a Comment