Ketika Dua Jenderal Jadi King Maker

Berita
Pojok -- Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa. Prabowo dan SBY
akhirnya bertemu. Reuni teman lama. Seangkatan saat sama-sama di Akabri. Sempat
berselisih paham dan berbeda politik. Cukup lama. Hal biasa dalam dinamika
berdemokrasi.
Untuk
apa bertemu? Koalisi. Gerindra-Demokrat. 73 kursi dan 61 kursi. Lebih dari
cukup untuk usung capres-cawapres. Apalagi jika ditambah PKS 40 kursi dan PAN
49 kursi. Total 223.
Gerindra
usung Prabowo, Demokrat ragu. Gak ketemu negonya. Setidaknya hingga hari ini.
SBY punya kalkulasinya sendiri. Nego terus dijajagi. Tapi tak mudah merubah
pendirian SBY.
Jika
Gerindra tak dapat dukungan Demokrat, Gerindra harus merayu kembali PKS atau
PAN. Atau dua-duanya. Tapi, terlalu mahal harga negosiasinya. Kedua partai itu
minta cawapres. Di PKS ada Ahmad Heryawan dan Anis Matta, di PAN ada Zulkifli
Hasan. Gerindra berat menerima formasi ini. Kemungkinan akan mentok juga.
Jika
sana-sini mentok, Prabowo gak dapat tiket. Kursi Gerindra tak cukup untuk
nyapres. Tak ada alasan bagi Gerindra kecuali merelakan Prabowo beristirahat.
Menemani kawan lamanya, SBY. Dua bapak bangsa ini jika bersatu akan jadi
kekuatan luar biasa. Cukup berada di belakang layar. Jadi King Maker.
Dua
jenderal berpengalaman dan berpengaruh ini jika legowo dan berendah hati
menyatukan idealismenya, akan menaikkan eskalasi kekuatan oposisi. Seperti
Mahathir dan Anwar Ibrahim di Malaysia. Mengubur masa lalu, dan menatap kedepan
demi bangsa. Menanggalkan ego partai dan
bersama-sama melawan incumbent yang dianggap oleh sebagian rakyat harus
dipensiunkan di 2019.
Keduanya
jadi King Maker. Buat siapa? Kalau mau menang, pasangan Anies Baswedan-AHY bisa
jadi pilihan. Orang menyebutnya ABAH, Anies Baswedan-Agus Harimurti. Pasangan
yang tidak saja ideal, tapi juga rasional untuk keadaan sekarang. PKS dan PAN
dimungkinkan bisa menerima. Gerindra? Tak ada pilihan lain.
Meminjam
kalimatnya Jusuf Kalla menjelang pilgub: mau maju untuk menang atau untuk
kalah? Kalau mau menang, calonkan Anies Baswedan. Dan terbukti. Sejarah ini
nampaknya bisa diulang di pilpres
Yang
perlu dipahami oleh Gerindra, bahwa partai asuhan mantan danjen Kopassus ini
tak mudah menemukan mitra koalisinya jika tetap bersikeras mengajukan Prabowo
sebagai capres. Bukan soal kemampuan, integritas dan idealismenya, tapi lebih
pada kebutuhan akan realistis politiknya.
Gerindra
mesti keluar dari mindset dan bayang-bayang pencapresan Prabowo. Kekakuan mesti
diurai, karena karakter semacam itu tak sejalan dengan fitrah berpolitik.
Berpolitik itu tumpuannya adalah negosiasi. Dan bernegosiasi keniscayaan sikap
yang fleksibel. No fleksibility, No negosiasi. Itu pakem. Gak ikut pakem,
tertinggal kereta.
Kekakuan
Gerindra bisa mengakibatkan partai ini berpotensi ditinggalkan oleh tiga partai
lainnya, yaitu PKS, PAN dan Demokrat. Kebutuhan untuk mengajukan pasangan calon
hanya tinggal beberapa waktu. PKS, PAN dan Demokrat bisa mengajukan pasangan
calon sendiri, tanpa Gerindra. Kalau ini terjadi, Gerindra akan sendirian dan
ditinggalkan mitra koalisinya. Dan ini sangat mungkin terjadi.
Posisi
Gerindra akan seperti Demokrat di 2014. Tapi ini lebih berisiko, karena pilpres
berbarengan dengan pileg. Tanpa ikut berkoalisi, suara Gerindra berpotensi
turun tajam. Ikut koalisi? Telat dan tak punya kekuatan untuk bernegosiasi.
Posisi Gerindra lemah, karena datang belakangan. Tanpa Gerindra pun, PKS, PAN
dan Demokrat punya kursi lebih dari cukup untuk mengusung capres-cawapres.
Tak
ada jalan lain bagi Gerindra kecuali legowo untuk terima calon lain sebelum
terlambat. Demi kemenangan rakyat yang jadi konstituennya, dan demi kepentingan
bangsa, sikap ini jauh lebih kesatria.
Di
keputusan bijak dan rasional inilah dua jenderal berpengaruh ini bisa bertemu
sebagai King Maker, bukan sekedar hanya untuk kebutuhan pragmatisme memenangkan
pilpres 2019, tapi terutama untuk membangun masa depan bangsa.
Jakarta,
29/5/2018
Sumber
: kumparan.com
Kayaknya nggak mungkin bersatu, semua ingin jadi Capres nggak ada yang mau ngalah. Iseng iseng meramaikan suasana politik.
ReplyDelete